(Keselamatan Kerja)
1.
Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan
ma-syarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut
merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah,
mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident).
Penerapan konsep ini tidak boleh
dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang
menghabiskan banyak biaya (cost)
perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang
yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Keselamatan kerja adalah keselamatan
yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan
pekerjaan (Sumakmur, 1993). Keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sasarannya adalah lingkungan kerja
b. Bersifat teknik.
Menurut Sumakmur (1988) kesehatan kerja
adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang
bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan
usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit atau gangguan–gangguan
kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta
terhadap penyakit-penyakit umum. Keselamatan kerja sama dengan Hygiene Perusahaan. Kesehatan kerja
memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sasarannya adalah manusia
b. Bersifat medis.
2.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1970
TENTANG
KESELAMATAN KERJA
BAB I
TENTANG ISTILAH-ISTILAH
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
1.
"tempat
kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak
atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki tempat kerja untuk
keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya
sebagaimana diperinci dalam pasal 2; termasuk tempat kerja ialah semua ruangan,
lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau berhubung
dengan tempat kerja tersebut;
2.
"pengurus"
ialah orang yang mempunyai tugas langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya
yang berdiri sendiri;
3.
"pengusaha"
ialah :
a.
orang atau badan
hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu
mempergunakan tempat kerja;
b.
orang atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan
untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
c.
orang atau badan
hukum, yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan
(b), jikalau yang mewakili berkedudukan di luar Indonesia.
4.
"direktur"
ialah pejabat yang ditunjuk oleh Mneteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan
Undang-undang ini.
5.
"pegawai
pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga
Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
6.
"ahli
keselamatan kerja" ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi
ditaatinya Undang-undang ini.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
1.
Yang diatur oleh
Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di
darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang
berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
2.
Ketentuan-ketentuan
dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana :
a.
dibuat, dicoba,
dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau
instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan atau peledakan;
b.
dibuat, diolah,
dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau disimpan atau bahan yang
dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu
tinggi;
c.
dikerjakan
pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung
atau bangunan lainnya termasuk bangunan perairan, saluran atau terowongan di
bawah tanah dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan.
d.
dilakukan usaha:
pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau
hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e.
dilakukan usaha
pertambangan dan pengolahan : emas, perak, logam atau bijih logam lainnya,
batu-batuan, gas, minyak atau minieral lainnya, baik di permukaan atau di dalam
bumi, maupun di dasar perairan;
f.
dilakukan
pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di darat, melalui terowongan,
dipermukaan air, dalam air maupun di udara;
g.
dikerjakan
bongkar muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gudang;
h.
dilakukan
penyelamatan, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air;
i.
dilakukan
pekerjaan dalam ketinggian diatas permukaan tanah atau perairan;
j.
dilakukan
pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
k.
dilakukan
pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena
pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting;
l.
dilakukan
pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, suhu,
kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara
atau getaran;
n.
dilakukan
pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
o.
dilakukan
pemancaran, penyinaran atau penerimaan radio, radar, televisi, atau telepon;
p.
dilakukan
pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang
menggunakan alat teknis;
q.
dibangkitkan,
dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau disalurkan listrik, gas,
minyak atau air;
r.
diputar film,
pertunjukan sandiwara atau diselenggarakan reaksi lainnya yang memakai
peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
3.
Dengan peraturan
perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja, ruangan-ruangan atau
lapangan-lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan
yang bekerja atau yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat dirubah
perincian tersebut dalam ayat (2).
BAB III
SYARAT-SYARAT KESELAMATAN KERJA
Pasal 3
1.
Dengan peraturan
perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk :
a.
mencegah dan
mengurangi kecelakaan;
b.
mencegah,
mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c.
mencegah dan
mengurangi bahaya peledakan;
d.
memberi
kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau
kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e.
memberi
pertolongan pada kecelakaan;
f.
memberi
alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g.
mencegah dan
mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran,
asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran;
h.
mencegah dan
mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis,
peracunan, infeksi dan penularan.
i.
memperoleh
penerangan yang cukup dan sesuai;
j.
menyelenggarakan
suhu dan lembab udara yang baik;
k.
menyelenggarakan
penyegaran udara yang cukup;
l.
memelihara
kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat
kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
n.
mengamankan dan
memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;
o.
mengamankan dan
memelihara segala jenis bangunan;
p.
mengamankan dan
memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang;
q.
mencegah terkena
aliran listrik yang berbahaya;
r.
menyesuaikan dan
menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi
bertambah tinggi.
2.
Dengan peraturan
perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta
pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Pasal 4
1.
Dengan peraturan
perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan,
pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan,
pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi
yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
2.
Syarat-syarat
tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan
yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi,
bahan, pengolahan dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian
dan pengesyahan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal
atas bahan, barang, produk teknis dan aparat produk guna menjamin keselamatan
barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan
keselamatan umum.
3.
Dengan peraturan
perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) dan (2);
dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan
mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 5
1.
Direktur
melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini sedangkan para pegawai
pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung
terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya.
2.
Wewenang dan kewajiban
direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan
Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 6
1.
Barang siapa
tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan permohonan banding
kepada Panitia Banding.
2.
Tata cara
permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan
lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
3.
Keputusan
Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.
Pasal 7
Untuk pengawasan berdasarkan
Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut
ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 8
1.
Pengurus di
wajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari
tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan
sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
2.
Pengurus
diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya,
secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh
Direktur.
3.
Norma-norma
mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan perundangan.
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 9
1.
Pengurus
diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang :
a.
Kondisi-kondisi
dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerja;
b.
Semua pengamanan
dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerja;
c.
Alat-alat
perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d.
Cara-cara dan
sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.
Pengurus hanya
dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa
tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas.
3.
Pengurus
diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran
serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian
pertolongan pertama pada kecelakaan.
4.
Pengurus
diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankan.
BAB VI
PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 10
1.
Menteri Tenaga
Kerja berwenang membertuk Panitia Pembina Keselamatan Kerja guna
memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari
pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan
kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi.
2.
Susunan Panitia
Pembina dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan
oleh Menteri Tenaga Kerja.
BAB VII
KECELAKAAN
Pasal 11
1.
Pengurus diwajibkan
melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya,
pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
2.
Tata cara
pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat (1)
diatur dengan peraturan perundangan.
BAB VIII
KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA KERJA
Pasal 12
Dengan peraturan perundangan diatur
kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk:
1.
Memberikan
keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau keselamatan
kerja;
2.
Memakai alat
perlindungan diri yang diwajibkan;
3.
Memenuhi dan
mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
4.
Meminta pada
Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan;
5.
Menyatakan
keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali
dalam hal-hal khususditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas
yang masih dapat dipertanggung jawabkan.
BAB IX
KEWAJIBAN BILA MEMASUKI TEMPAT KERJA
Pasal 13
Barang siapa akan memasuki sesuatu
tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai
alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
BAB X
KEWAJIBAN PENGURUS
Pasal 14
Pengurus diwajibkan :
1.
secara tertulis
menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja
yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya
yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja;
2.
Memasang dalam
tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan
dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan
terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.
3.
Menyediakan
secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga
kerja berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang
memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang
diperlukan menurut petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja.
BAB XI
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
1.
Pelaksanaan
ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
2.
Peraturan
perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas
pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
3.
Tindak pidana
tersebut adalah pelanggaran.
Pasal 16
Pengusaha yang mempergunakan
tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku
wajib mengusahakan di dalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku,
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 17
Selama peraturan perundangan untuk
melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka
peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini
mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini.
Pasal 18
Undang-undang ini disebut
"UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA" dan mulai berlaku pada hari
diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
3.
Problematika Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) Di Indonesia
Menurut Paulus Londo, TAK dapat disangkal
hingga kini aspek
”kesehatan dan keselamatan kerja” atau disingkat K-3 belum mendapat perhatian serius
di Indonesia. Kalaupun hal
tersebut sering dibicarakan
diberbagai seminar dan
diskusi, umumnya tidak disertai
dengan konsep implementasi yang jelas dan konkrit.
Kenyataan ini tentu tidak akan menguntungkan bagi Indonesia di masa
mendatang, sebab masalah tersebut sejak dua dekade silam sudah menjadi
isu internasional yang serius,
karena berkaitan erat dengan berbagai masalah lainnya yang kini mendapat sorotan dunia.
Hal
lain yang juga ikut mendorong
perlunya perhatian serius terhadap kesehatan
dan keselamatan kerja
adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM)
sebagai suatu fenomena global.
Dalam
perspektif penegakan HAM,
adanya jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
di lingkungan perusahaan dipandang sebagai bagian integral dari penegakan hak-hak asasi manusia.
Kendalanya adalah lambannya penerapan
ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia tampak selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran
para pelaku usaha akan hal ini, juga oleh beragam faktor lain, dan karena itu
perlu selusi yang bersifat menyeluruh.
Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam
perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai
ketenaga-kerjaan dan dunia usaha, misalnya,
terlihat dengan jelas
belum semua aspek prinsipil kesehatan dan keselamatan kerja
terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan audit kesehatan dan
keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.
Namun
diluar sebab-sebab diatas,
tersendatnya penerapan K-3 di Indonesia juga disebabkan oleh belum berkembangnya disiplin ilmu
kedokteran okupasi sehinga jumlah
dokter okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu
pula klinik medik okupasi masih
sangat terbatas.